Bojonegoro, infopol.co.id
Laporan dugaan pungutan Rp3 juta kepada calon jamaah haji di Kabupaten Bojonegoro masuk ke portal Lapor pada 16 April 2025. Pungutan disampaikan melalui Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dengan alasan “syukuran bagi calon jamaah pendamping”.
Pelapor menyebut pungutan tidak disertai rincian tertulis. Karena khawatir nama dicoret dari daftar keberangkatan, pelapor tidak menyampaikan langsung ke Kementerian Agama setempat.
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama merespons dengan permintaan dokumen pendukung seperti surat pernyataan dan bukti transfer. Lima hari kemudian, tanggapan berubah: laporan dinyatakan tidak dalam lingkup kewenangan teknis Inspektorat, mengacu pada Permendagri Nomor 131 Tahun 2018.
Padahal Pasal 1 angka 2 KUHAP menetapkan bahwa tugas mencari dan menemukan bukti merupakan kewenangan penyidik. Pelapor tidak memiliki akses terhadap dokumen teknis internal penyelenggara haji.
Komponen “syukuran” tidak tercantum dalam Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) resmi. Tidak ditemukan keterangan siapa yang menginisiasi pungutan, bagaimana dana digunakan, dan siapa yang mengatur mekanismenya.
Hingga akhir Mei 2025, tidak ada penjelasan dari Kementerian Agama Bojonegoro maupun Kanwil Kemenag Jawa Timur. Laporan berhenti di tahap permintaan bukti.
Permintaan bukti kepada pelapor yang tidak memiliki akses dokumen teknis dikhawatirkan menghambat pelaporan publik. Situasi ini berpotensi menurunkan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aduan. (why).