Lamongan, infopol.co.id
Desa Gelap, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, kini menjadi simbol kelumpuhan pemerintahan desa. Bagaimana tidak—desa ini hingga kini tidak memiliki kantor desa. Sebuah fakta mencengangkan di tengah kewajiban pelayanan publik yang seharusnya berjalan setiap hari.
Lalu muncul pertanyaan sederhana namun mendasar: jika tidak ada kantor desa, pelayanan diberikan di mana? Di warkop? Di rumah kepala desa? Bagaimana warga bisa mendapatkan dokumen resmi, menyampaikan aspirasi, atau sekadar mencari informasi jika tempat pemdes saja tidak jelas?
“Kita sering diminta nunggu seminggu, kadang ngurus surat di rumah kepala desa. Rasanya kayak nggak punya pemerintahan,” ujar salah satu warga dengan nada kesal.
Situasi ini mengarah pada ironi yang lebih dalam. Perangkat desa tetap menerima gaji setiap bulan, namun mereka ngantor di mana? UU Desa jelas menyebutkan pentingnya kantor desa sebagai pusat administrasi dan pelayanan. Tanpa itu, aktivitas pemdes hanya akan jadi formalitas tanpa kontrol, tanpa arsip, tanpa sistem.
Kepala Desa Gelap, Agus Syaefudin, tidak menunjukkan iktikad untuk membangun infrastruktur dasar tersebut. Justru muncul dugaan bahwa berbagai program pembangunan fiktif atau mangkrak, termasuk kecurigaan terhadap praktik mar’up (pemotongan dana secara ilegal).
Saat dikonfirmasi, kamis (8/5/2025) Kades Agus Syaefudin tidak memberikan jawaban apapun. Sikap diam ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada yang disembunyikan dari publik.
Desa Gelap seperti dibiarkan hidup dalam gelap, bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga moral dan tanggung jawab. Pemerintahan desa tanpa kantor adalah pelanggaran logika pelayanan publik. Dan lebih parah lagi, ini bisa menjadi pelanggaran hukum bila dikaitkan dengan penggunaan dana desa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Lamongan. Namun yang jelas, Desa Gelap telah menjadi contoh buruk tata kelola pemerintahan yang tak tersentuh pengawasan. (Why).