Saat PGRI Diam Dan Mati Suri, Akung Sudarman Bergerak Menegakkan Martabat Guru
Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(Akademisi & Aktivis)
BANYUWANGI, Infopol.co.id -
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi semestinya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak guru, baik ASN maupun non-ASN. Namun, realitas di Banyuwangi menunjukkan anomali yang mencemaskan. Kubu PGRI di bawah kepemimpinan Sodiq tampak kehilangan taring, mandul secara fungsi, dan gagal menjadi penyambung aspirasi para guru. Organisasi yang seharusnya menjadi simbol perjuangan kini terjebak dalam stagnasi birokratis, nyaris tak terdengar geliatnya dalam advokasi substansial, terutama menyangkut guru honorer yang menjadi tulang punggung pendidikan di akar rumput.
Kepemimpinan Sodiq, alih-alih memperkuat konsolidasi dan memperluas jejaring kerja sama lintas sektor demi peningkatan kesejahteraan anggota, justru tersandera oleh tarik-menarik kepentingan sempit yang membuat organisasi ini tak ubahnya kerangka kosong. Program yang dijalankan tak menyentuh persoalan mendesak para guru. Tak ada gebrakan nyata, apalagi terobosan strategis. Para guru non-ASN dibiarkan bergumul sendiri dengan nasibnya, tanpa pendampingan berarti dari organisasi yang seharusnya menjadi rumah besar bagi perjuangan mereka. Fungsi kontrol, perlindungan, dan pemberdayaan yang melekat pada PGRI seolah hilang ditelan egoisme kepemimpinan.
Di sisi lain, ironi muncul dari keberadaan kubu Akung Darman yang meski tidak diakui secara struktural oleh pusat, justru tampil lebih progresif, visioner, dan responsif terhadap penderitaan para guru non-ASN. Kiprah mereka nyata dan dapat dirasakan langsung oleh para anggota, mulai dari advokasi persoalan insentif, pendampingan hukum, hingga penguatan kapasitas. Harkat dan martabat para guru yang sebelumnya tercerabut oleh sistem yang tak berpihak, sedikit demi sedikit dipulihkan melalui gerakan-gerakan konkret yang dicanangkan oleh kubu ini. Tanpa fasilitas resmi, mereka justru mampu bekerja secara militan dan efektif.
Kondisi ini membuka mata publik bahwa legitimasi moral tak selalu lahir dari struktur formal. Ketika kepemimpinan kehilangan orientasi dan integritas, maka kekuatan tandingan yang berpihak kepada nilai-nilai keadilan sosial akan tampil sebagai alternatif yang sah secara etik. PGRI Banyuwangi kubu Sodiq tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi telah terdegradasi menjadi organisasi simbolik yang hanya eksis dalam seremoni, bukan dalam kerja nyata. Kemandulannya adalah kegagalan kolektif dalam membaca krisis dan kebutuhan real di lapangan.
Sudah saatnya dilakukan evaluasi total terhadap kepemimpinan PGRI Banyuwangi. Jika organisasi ini ingin kembali mendapatkan tempat di hati para guru, maka ia harus belajar dari spirit keberpihakan yang ditunjukkan oleh kubu Akung Darman. Organisasi profesi tidak boleh menjadi alat kekuasaan atau ladang basa-basi politik birokratis. Ia harus hadir sebagai kekuatan moral, yang menyuarakan nurani pendidikan dan memperjuangkan kesejahteraan para pendidik secara total. Jika tidak, maka PGRI hanya akan menjadi fosil organisasi yang dikutuk oleh sejarah karena abai terhadap tanggung jawab etis dan sosialnya. (Red)