infopol.co.id Kontak Redaksi- 085784424805 wa Melestarikan, Menjaga Dan Memperkenalkan Kebudayaan Suku Suku Indonesia

Iklan Semua Halaman

Iklan 928x90

Hot Post

Melestarikan, Menjaga Dan Memperkenalkan Kebudayaan Suku Suku Indonesia

Kamis, 12 Januari 2023



SURABAYA. Infopol.co.id - Di Era Globalisasi Teknologi Digital yang berkembang di Negara Indonesia, serta berbagai macam macam suku budaya dan bahasa di Indonesia, salah satunya, suku Minahasa Sulawesi Utara, Mereka mempunyai adat kebudayaan yang bernama " TARIAN KAWASARAN ".


Tarian Kawasaran ini dahulu dimainkan oleh para penari laki-laki yang umumnya bekerja sebagai petani atau penjaga keamanan desa-desa di Minahasa. Jika sewaktu-waktu wilayah mereka terancam atau diserang musuh, mereka meninggalkan pekerjaan dan berubah menjadi waranei atau prajurit perang. Kamis (12/01/2023) Sekitar Pukul 10:00 WIB.


Menurut adat, Penari Kawasaran harus berasal dari keturunan sesepuh penari kawasaran. 


Mereka juga memiliki senjata yang diwariskan dari para leluhur. Senjata inilah yang dipakai saat menari.

Kemunculan tarian ini tak bisa dipisahkan perang berkepanjangan dan ancaman dari suku-suku lain yang berdekatan. Untuk mempertahankan diri, leluhur orang Minahasa berusaha memperkuat diri dengan merekrut orang-orang kuat dan berbadan besar yang dilatih berperang dengan menggunakan pedang (Santi) dari bahasa asli suku Minahasa dan tombak (Wengko).


Menurut Mexi Tumuju dalam “Simbol Verbal dan Nonverbal Tarian Kabasaran dalam Budaya Minahasa” di Jurnal Duta Budaya, No. 78-01 Tahun ke-48, Juni/Juli 2014, para Ksatria yang Tuama (bersifat jantan) atau Wuaya (berani) inilah militer pertama di Minahasa. Mereka harus menjadi penjaga desa (Walak) yang harus siap siaga jika ada ancaman.


“Gerakan-gerakan para prajurit ketika mereka sedang mempersiapkan diri untuk berperang, seperti lompatan- lompatan maju menyerang, mundur atau menyamping untuk menghindari dan menangkis serangan musuh disertai jeritan menakutkan. Itulah yang disebut Cakalele atau dalam Minahasa Tua Cakalele,


Dari Tari Cakelele ini pula lahir Tarian kawasaran. Meksi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara menyebut Tarian Kawasaran merupakan penyederhanaan dan penghalusan dari Cakalele, Tarian perang sekaligus pemujaan leluhur. Tarian Cakalele disajikan untuk ramah tamah menyambut tamu-tamu Belanda, karena gerakan-gerakannya yang kasar dan liar.


“Dengan menggunakan gerakan-gerakan quadrille yang diperkenalkan Spanyol maka diciptakanlah Tarian kawasaran sebagai Tarian untuk menyambut tamu-tamu Belanda,” Tutur Maxi Iroth.

Istilah kawasaran sendiri merupakan perubahan dari Kawasaran yang berasal dari kata Wasar yang artinya ayam jantan aduan yang sengaja dipotong jenggernya (sarang) agar lebih galak saat diadu. 


“Jadi kawasaran artinya penari yang menari seperti gaya gerak dua ekor ayam yang sedang menyabung, atau identik dengan ayam aduan,” ungkap Maxi Iroth dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.


Dulu setiap kampung memiliki beberapa penari kawasaran. Organisasi kawasaran ditangani oleh para “Hukum Tua” atau Kepala Kampung. Mereka mendapat tunjangan garam, beras, gula putih, kain dan tembakau setiap bulan.


Gerakan Tarian Kawasaran energik melambangkan semangat seorang prajurit perang, tapi juga dinamis mengikuti irama alat musik. 


Semua gerakan Tarian berdasarkan komando atau aba-aba dari pemimpin Tarian yang disebut Tombolu, yang dipilih sesuai kesepakatan para sesepuh adat. Tarian diiringi alat musik pukul seperti gong, tambur, atau kolintang.


"Penari yang terluka biasanya karena kesalahan sendiri, yang dalam hal ini si penari kurang menguasai sembilan jurus memotong dengan pedang dan sembilan jurus tusukan tombak,” ujar Meksi.


Tarian Kabasaran terdiri dari tiga babak, yang berasal dari Tiga Tarian dalam upacara adat berbeda: Cakalele dari upacara sebelum dan setelah kembali berperang; Kumoyak berasal dari upacara korban Kepala Manusia; dan Lalaya’an dari upacara menghilangkan panas jimat-jimat yang melekat di badan.


Masing-masing babak punya gerakan yang berbeda. Babak pertama, cakalele; berasal dari kata “Caka” yang artinya bertarung dan “Lele” artinya mengejar. Pada babak ini, gerakan penari layaknya bertarung. Penari berpura-pura saling menebas dengan pedang dan menusuk dengan tombak dalam iringan langkah irama 4/4 sesuai bunyi Tambor.

Kedua, Kemoyak; berasal dari kata “Koyak” yang berarti mengayunkan senjata. Kata koyak juga bisa diartikan membujuk roh musuh yang terbunuh dalam pertempuran agar bisa tenang. Pada babak ini, para penari benar-benar memainkan senjata dengan gerakan mendorong maju. 


Tarian juga diikuti puisi yang dilantunkan seorang pemimpin tari dan akan disambut sorakan para prajurit.


Menurut Mexsi, dulu ini merupakan Tarian membawa Kepala Manusia. 


Pada tarian ini para Kawasaran membentuk lingkaran lalu menari mengelilingi kepala manusia yang diletakkan di tengah lingkaran sambil menyanyi lagu Koyak e waranei, lagu patriotik keprajuritan tradisional Minahasa tempo dulu.


Ketiga, Lalaya’an dimana penari meletakkan senjata tajam sambil menari lionda dengan penuh senyuman. Lionda, kata Wenas, berarti meletakkan tangan di pinggang dan berdiri dengan satu kaki terangkat. Berbeda dari babak-babak sebelumnya, penari menanggalkan ekspresi serius dan tampang sangar. Mereka bisa menari sambil tersenyum, sebagai simbol membebaskan rasa amarah setelah selesai berperang.


"Kostum para penari tak kalah menarik Kostum terbuat dari kain tenun khas Minahasa Sulut yang didominasi warna merah. Para penari juga memakai topi bulu ayam atau bulu burung Cenderawasih, kalung, gelang, dan aksesoris lainnya.


“Dahulu pakaian penari sama dengan penari Cakalele, tapi sekarang pakaian bebas asalkan berwarna merah,” Kata Mexsi selaku ketua BMI (Brigadir Manguni Indonesia) Jawa Timur saat di konfirmasi awak media Infopol.co.id. Di hotel Platinum Jalan Tunjungan no.11-21 Surabaya.


"Tarian Kawasaran lestari hingga saat ini. Beberapa kelompok/Anggota para penari Tarian ini masih merawat dan menjaga kesenian Tradisional ini di sejumlah wilayah di Minahasa khususnya Jatim, Tarian Kawasaran kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu, kenaikan pangkat pejabat di wilayah Sulawesi Utara, upacara adat pernikahan, dan kegiatan sosial lainnya. ( Saiful )