infopol.co.id Kontak Redaksi- 085784424805 wa Tour De Ijen: Ajang Elitisme Yang Tak Menyentuh Akar Rumput

Iklan Semua Halaman

Iklan 928x90

Hot Post

Tour De Ijen: Ajang Elitisme Yang Tak Menyentuh Akar Rumput

Rabu, 30 Juli 2025

 Tour De Ijen: Ajang Elitisme Yang Tak Menyentuh Akar Rumput



Oleh:

Herman,.M.Pd., M.Th., CBC


(Aktivis Masyarakat Sipil & Akademisi)


Banyuwangi, Infopol.co.id -

Tour de Ijen (TDI), yang digadang-gadang sebagai ajang internasional kebanggaan Banyuwangi, justru menghadirkan ironi yang tajam bagi masyarakat lokal. Di atas kertas, TDI seolah menjadi simbol kemajuan, sport tourism, dan pencitraan Banyuwangi sebagai destinasi global. Namun realitas di lapangan berbicara lain: rakyat kecil tidak banyak merasakan manfaat nyata dari event ini. Banyak warga hanya menjadi penonton dari kejauhan, bahkan terganggu aktivitasnya oleh penutupan jalan dan ketatnya pengamanan. Infrastruktur memang dipercantik di titik-titik tertentu, tetapi itu lebih untuk tamu dan media, bukan untuk kebutuhan jangka panjang warga.


Lebih lanjut, dampak ekonomi yang selama ini dijanjikan sebagai multiplier effect dari TDI tidak benar-benar dirasakan merata. UMKM hanya segelintir yang diberi ruang promosi, sementara pedagang kaki lima justru diusir dari lokasi strategis dengan alasan estetika. Pemerintah daerah tampaknya lebih sibuk membangun citra untuk tamu luar dan pencapaian politik, ketimbang memastikan bahwa warga lokal ikut sejahtera dari setiap helaan event tersebut. Di kampung-kampung, geliat TDI tak terdengar gaungnya jauh dari semangat partisipatif dan keberpihakan sosial.


Kepuasan masyarakat terhadap event TDI pun cenderung rendah dan semu. Banyak warga mengeluhkan macet, akses jalan ditutup, serta komunikasi yang tidak transparan dari pihak penyelenggara. Ketika suara rakyat dibungkam oleh euforia semu yang dibangun melalui media, maka jelas ada kesenjangan antara narasi pembangunan dan kenyataan sosial. Mereka yang bersorak di panggung TDI bukanlah representasi rakyat Banyuwangi secara keseluruhan. Apresiasi publik hanya terpusat pada elite dan pihak-pihak yang diuntungkan secara langsung, sementara mayoritas lainnya hanya menerima residu.



Ironisnya, Tour de Ijen seperti menjadi panggung elitis tahunan yang lebih condong pada pencitraan politik dan pertunjukan seremonial ketimbang alat pembangunan masyarakat. Pemerintah daerah tampaknya lebih mengutamakan tamu undangan, delegasi asing, dan panggung internasional, dibanding mendengar suara rakyat yang menjerit karena dampaknya. Jika setiap event besar hanya menjadi ajang glamor tanpa dampak sistemik yang adil, maka yang terjadi hanyalah akumulasi ketimpangan sosial dan alienasi publik terhadap pembangunan.


Sudah saatnya Tour de Ijen direkonstruksi dari sekadar ajang balap sepeda menjadi platform perubahan yang benar-benar menyentuh kehidupan warga Banyuwangi. Event internasional tidak boleh menjadi ruang eksklusif bagi segelintir orang untuk bersorak, tetapi menjadi alat kolaborasi yang adil, inklusif, dan mensejahterakan. Jika tidak, maka TDI hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai festival tahunan penuh gembar-gembor, namun hampa makna bagi mereka yang justru hidup di tanah yang dilintasinya.

(Red)