Lamongan, infopol.co.id
Lebih dari 20 media online secara serentak menyorot satu kasus yang sama — dugaan pungutan liar dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Desa Tambakploso, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Fenomena ini bukan sekadar tren pemberitaan. Ia adalah isyarat keras bahwa sesuatu telah rusak di akar paling dasar tata kelola desa.
PTSL, program strategis nasional yang bertujuan memberikan kepastian hukum atas tanah rakyat, justru dituduh berubah menjadi ladang pemalakan terselubung. Panitia lokal yang disebut bernama Bambang, diduga meminta biaya hingga Rp850 ribu per bidang tanah. Ini jumlah yang jauh dari ketentuan dan menimbulkan keresahan luas.
Namun yang membuat suasana makin mencekam adalah munculnya informasi bahwa sejumlah oknum preman berjaga di sekitar panitia PTSL, menghalangi wartawan dan warga yang mencoba mencari kejelasan. Premanisme di balik program negara bukan hanya ancaman terhadap pers, tapi pelecehan terhadap prinsip keterbukaan publik.
Ada apa dengan PTSL Tambakploso?
Mengapa desa bisa berubah menjadi ruang sunyi yang antikritik? Dan kenapa Kepala Desa sebagai pemegang otoritas tertinggi memilih diam?
Kini muncul satu pertanyaan krusial,
Ketika media sudah bersatu menulis, apakah itu bukan sinyal bahwa masyarakat sudah kehilangan harapan kepada aparat penegak hukum?
Jika negara hadir untuk melindungi rakyat, di mana posisinya saat rakyat diteror di desanya sendiri?
Fenomena ini memperlihatkan lebih dari sekadar dugaan pungli. Ia mencerminkan retaknya kepercayaan terhadap tegaknya institusi hukum. Ketika pelanggaran berlangsung terbuka dan dilindungi kekuatan tak resmi, dan ketika pihak berwenang tak kunjung bertindak, maka kekosongan hukum tengah terjadi — dan diisi oleh amarah publik serta kekuatan media.
Ini bukan lagi sekadar berita lokal. Ini adalah potret buram tata kelola desa yang menuntut tindakan nyata dari aparat penegak hukum, ATR/BPN, hingga inspektorat daerah.
Jika dibiarkan, Tambakploso hanya akan menjadi satu dari banyak desa yang kehilangan arah, kepercayaan, dan masa depan. (Why).